SEJARAH AL QURAN

Apakah itu al-Quran.

"Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
 Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Artinya :  Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. karena itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".  Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini. Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dgn mutawatir serta membacanya adlh ”ibadah". Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-2 selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dgn demikian pula Kalam Allah yg diturunkan kpd Nabi Muhammad s.a.w yg membacanya tdk dianggap sbg ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.
Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.  
Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya: 
1.  Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).   
2.  Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.  
3.  Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya  
wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa". 
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-2 seperti keadaan no. 2, tetapi benar-2 seperti rupanya yang asli. Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.  
Artinya:
Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha. 
Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur  
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah : 
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.  
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).  
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.  
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:  
Mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus  
Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:  
Demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu  
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.
Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah  
Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:  
1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.  
2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.  
Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.  
Perbedaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat. Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.  
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.  
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-2, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, ketatanegaraan, perang, internasional, antara agama dll.
Nama-nama Al-Quran
Allah memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".  Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
Nama ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat
88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat
2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah
ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi
Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, seperti 
1.  Al Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
 
2.  Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
3.   Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur. 
Surah-surah dalam al-Quran
· Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi). 
Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-2 pendek. 
Seperti : Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An  Nas. dsb.
g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.

Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang  dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada  surat-surat:
 (1)· Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.      Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)

Etimologi

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:

Terminologi

 
Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan Bukti-Buktinya

Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri. Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.

Nama-nama lain Al-Qur'an

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
 

Struktur dan pembagian Al-Qur'an

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Surat dalam Al-Qur'an, Makkiyah, dan Madaniyah

Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dsb.
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya

Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf

Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.

Penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
 

Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin 

Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abd bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
 Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-2 utk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dlm, mengupas makna) dalam berbagai bhs. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bkn usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yg asli dlm bhs Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri
 Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
a. Dlm bahasa Indonesia         di antaranya oleh:
1.    oleh Depag RI, ada 2 edisi revisi, yaitu thn 89 dan 2002
2.          oleh Prof. Mahmud Yunus
3.          An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
4.          Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
b. Dlm bhs Inggris
1.          The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
c. Dlam bahasa daerah Indonesia di antaranya:
1.        Qur'an Kejawen (bhs Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
2.        Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
3.        Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
4.        Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
5.        Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bhs Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
Al-Amin (bhs  Sunda)

Pendapat pertama.  Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79. 

Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

Pendapat kedua.     Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yg bersih dr hadats besar dan hadats kecil.

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dgn bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”

Hubungan dengan kitab-kitab lain

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hubungan Al-Qur'an dengan kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebu
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder
 Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan.
 Oleh: Luthfi Assyaukanie
 Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis.
Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu.
Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu.
Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang saya buat.
Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap
tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan.
Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba
“membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-halmaha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya.
Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-
pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an.  Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia.    Para filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya
mereka yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il).  Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, dan juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab.
Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan tidak abadi.      Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul
kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang.  Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah yang universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kalamullah yang eternal dan universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama).
Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara kronologis
(tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern.
Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an).
Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya.
Menurut saya, keyakinan akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, dan manusiawi.    Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama secara umum.
Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an.